Public Virtue

Follow Us :

Menuntut Negara Tuntaskan Kekerasan Politik Terhadap Perempuan Tragedi September 1965 hingga Tragedi Mei 1998

Lembaga kajian demokrasi dan HAM Public Virtue bersama Komnas Perempuan mendesak negara, termasuk para Capres dan cawapres untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran atas hak-hak perempuan dalam Tragedi September 1965 hingga Tragedi Mei 1998.

Desakan ini disampaikan dalam peringatan Hari Kongres Perempuan Indonesia ke-95 yang digelar di M-Bloc Space, di bilangan Jakarta Selatan. Acara itu menghadirkan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta 13-15 Mei 1998 yang juga Jaksa Agung pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid.

“Tragedi 1965 hingga Tragedi Mei 1998 tidak boleh dilupakan. Kita perlu mendorong agar pemerintahan terpilih ke depan sudah mulai menempuh langkah penyelesaian dalam 100 hari pertama. Bukan di tahun terakhir seperti pemerintahan saat ini. Dan dibutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk menyelesaikan tragedi-tragedi kemanusiaan ini,” kata Marzuki saat memberikan pidato kunci.

Di acara tersebut, Guru besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menjelaskan sejarah gerakan perempuan sudah dimulai sejak tahun 1915 dengan berdirinya wadah perjuangan perempuan bernama Suara Mahardika hingga gerakan perempuan yang memantik protes mahasiswa di tahun 1998.

Sementara direktur Public Virtue Yansen Dinata menilai, sejarah mencatat bahwa diskriminasi dan marjinalisasi terhadap perempuan cenderung dilupakan. “Kami berharap agar pemerintahan baru benar-benar mempunyai niat untuk menegakan keadilan dan hak asasi manusia atas Tragedi 1965 hingga kekersan rasial pada Mei 1998,” tambah Yansen.

Kerusuhan pada Mei 1998 banyak menelan korban terutama perempuan. Perempuan menjadi obyek diskriminasi rasial dan kekerasan seksual. Pemerkosaan dilakukan secara sistematis hampir di seluruh wilayah Indonesia khususnya Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, Medan dan Jakarta.

Alissa Wahid menjelaskan bahwa di Pemilu ini kita harus memastikan lahirnya pemimpin negara yang memiliki perspektif dan keberpihakan pada hak-hak perempuan.

Hingga kini, negara masih mengabaikan tanggungjawab konstitusional atas hak kaum perempuan. Keadilan dan kebenaran tragedi masa lalu masih gelap dan melanggengkan politik yang merendahkan martabat perempuan termasuk berdasarkan suku, agama, ras, dan asal usul kebangsaan.

Diskusi dihadiri
1. Mariana Amirudin, Komisioner Komnas Perempuan
2. Alissa Wahid, Ketua PBNU, putri sulung Gus Dur
3. Maria Catarina Sumarsih, orangtua korban 98, pegiat kamisan
4. Prof Sulistyowati Irianto, Guru Besar FHUI
5 Alya Eka, mahasiswa dan aktivis HAM
6. Marzuki Darusman, Ketua TGPF Mei 1998
7. Yansen Dinata, Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute

Dalam acara tersebut, para penampil seni juga menyuarakan penyelesaian tragedi Mei 1998 hingga kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya seperti penculikan dan penghilanhan paksa aktivis prodemokrasi pada 1997-1998. Salah satunya disampaikan oleh Hardingga, putera dari Yani Afri yang diculik pada April 1997. Hadir pula Nafilah puteri dari Noval Alkatiri yang diculik pada 29 Mei 1997.

Hadir pula Once Mekel, musisi kenamaan Indonesia yang kini terjun ke dunia politik sebagai caleg PDI Perjuangan Dapil Jakarta II (Jakarta Selatan, Pusat dan Luar Negeri).

Once bersama musisi blues Gugun The Blues Shelte ikut tampil bersama “Usman and The Blackstones”, sebuah band yang digawangi Usman Hamid, yang juga Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia.

Mereka membawakan lagu-lagu bertemu kritik sosial dan protes atas belum selesainya kasus-kasus pelanggaran HAM seperti kasus Munir, penghilangan paksa aktivis 1997-98, Tragedi Kanjuruhan, hingga pelanggaran HAM terkait proyek investasi di Rempang.

Usman menambahkan, pemimpin kedepan harus mau dan mampu mengadili para pelaku dan penanggungjawab kekerasan seksual yang tergolong pelanggaran HAM berat terhadap perempuan dan diberi sanksi hukum yang tegas.

“Lagu Kanjuruhan itu terinspirasi dari salah seorang perempuan bernama Yuli, yang kehilangan puteranya Bregi Andri Kusuma serta untuk Aremania yang tak lelah mencari kebenaran dan keadilan,” kata Usman.

Jakarta, 22 Desember 2023
Yansen Dinata
Direktur Public Virtue Institute
Usman Hamid
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional

Share This :

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top