Pada tanggal 2 Oktober 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua gugatan formil serikat-serikat buruh terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Sejak diterbitkan, UU Cipta Kerja sudah menemui berbagai pertentangan dari masyarakat sipil, terutama dari serikat buruh, pelajar, akademisi, masyarakat adat, dan pejuang lingkungan.
Perlawanan dari masyarakat muncul karena aturan UU Cipta Kerja yang sangat menguntungkan pemilik modal namun merugikan para buruh dan merusak lingkungan. Selain itu, UU Cipta Kerja memiliki sejumlah permasalahan dalam perumusan UUnya.
Pertama, UU Cipta Kerja dirumuskan oleh DPR dalam waktu yang sangat singkat dan tidak melibatkan masyarakat secara bermakna. Kedua, sebelumnya MK telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja “inkonstitusional bersyarat” dan memerintahkan DPR untuk melibatkan masyarakat dalam perumusan aturannya.
Alih-alih melakukan perbaikan, DPR memutuskan untuk memecat Hakim Aswanto, salah satu dari 4 hakim yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Kemudian, DPR menyepakati Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menangkal putusan MK.
Ketiga, aspek kegentingan yang memaksa yang sebenarnya tidak memiliki landasan yang jelas. MK menyatakan bahwa kegentingan tersebut disebabkan oleh gejolak ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19. Kegentingan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat karena pada kenyataannya, perekonomian Indonesia tumbuh 5% dari tahun 2021-2023.
Direktur Eksekutif Public Virtue, Yansen Dinata, melihat adanya “persekongkolan oligarki bisnis di dalam lingkaran Pemerintah dan DPR. Akibatnya, produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR dan pemerintah pro terhadap kelas pebisnis, anti-demokratik, dan menempatkan buruh dalam posisi yang rentan.”
Stanislaus Axel Paskalis, Juru Bicara Public Virtue, menambahkan “Perumusan UU dan Perppu Cipta Kerja sangatlah terburu-buru dan tidak mempertimbangkan pendapat para ahli dan kelompok rentan. Perumusan UU yang tidak demokratis akan menempatkan banyak orang dalam keadaan rentan sebab cakupan isu di dalam UU ini sangat luas.”
Dengan berbagai persoalan di dalam UU Cipta Kerja, penolakan MK terhadap gugatan Serikat Buruh bisa menjadi titik baru bagi kemunduran demokrasi. Sebuah produk Undang-Undang yang bermasalah dan dengan dampak panjang bisa diloloskan dengan proses yang terang-terangan menolak suara dari masyarakat, dan khususnya suara pihak yang paling terdampak.
Public Virtue bersolidaritas dengan Serikat Buruh serta berbagai pihak yang terdampak, mendukung semua gugatan yang dilayangkan, menuntut pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja, dan mengajak masyarakat untuk turut turun di dalam aksi-aksi penolakan UU Cipta Kerja.