
1 Oktober 2023, genap satu tahun Tragedi Kanjuruhan tidak hanya menyisakan luka bagi keluarga korban, melainkan juga menyisakan luka bagi keadilan lantaran tidak sepadannya antara bahaya yang ditimbulkan dan hukuman yang diberikan.
133 orang meninggal dunia, 26 orang luka berat dan 596 orang luka ringan dalam malam pertandingan antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Polisi menembakkan gas air mata ke Tribun Utara dan Timur untuk mengontrol massa setelah hasil pertandingan menunjukkan kekalahan Arema FC.
Hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) menyimpulkan bahwa ratusan korban Tragedi Kanjuruhan disebabkan oleh gas air mata yang tertiup angin, bukan sebab penembakkan terarah gas air mata ke tribun penonton. Penonton menderita sesak napas, panik, terinjak-injak kerumunan, patah tulang sebelum kemudian meninggal. Enam tersangka divonis ringan.
Tiga diantaranya berasal dari penyelenggara pertandingan, dan tiga lainnya dari unsur kepolisian. Wahyu Setyo Pranoto (Kabagops Polres Malang) dan Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang) dibebaskan pengadilan tingkat pertama. Hanya Hasdarman (Danki III Brimob Polda Jawa Timur) yang dihukum 1 tahun 6 bulan penjara.
Hal ini belum termasuk ancaman-ancaman anonim ketika keluarga korban memperjuangkan keadilan. Tragedi Kanjuruhan menjadi ingatan kelam terhadap performa aparat penegak keamanan dan penggunaan gas air mata di Indonesia.
FIFA telah melarang penggunaan gas air mata untuk pengamanan sepakbola, tapi Polisi di Indonesia punya preferensi berbeda. “Ada penggunaan gas air mata yang tidak terukur dalam Tragedi Kanjuruhan. Polisi mau tidak mau masuk meja hijau. Tapi hasil yang kita lihat, peradilannya masih belum berpihak pada korban dan seakan hukumannya hanya sekedar formalitas,” tegas Stanislaus Axel Paskalis, Juru Bicara Public Virtue Research Institute (PVRI).
“Mata merah dan sesak napas mungkin dampak instan di tubuh, tapi dalam konteks sosial, gas air mata sama artinya dengan sikap anti terhadap hak berkumpul, hak menyuarakan pendapat, dan hak aman dalam bersuara,” sambung Andri Setya Nugraha, Program Officer PVRI.
Lebih jauh, Andri juga melihat bahwa, “apa yang terjadi di Kanjuruhan tidak sepenuhnya sebab dampak fisik dari gas air mata. Membludaknya arus kerumunan ke arah pintu keluar itu termasuk dampak sosial gas air mata. Akhirnya ada orang yang terinjak-injak.” Menurut Andri, apapun barangnya, harus dipertimbangkan dampak sosialnya Ketika diterapkan dalam konteks kejadian dan ruang yang berbeda.
Tragedi Kanjuruhan bukan semata tentang bahwa korban telah memperoleh bantuan dan pelaku telah dihukum dalam arti formal. Namun tragedi ini harus diperlakukan sebagai pekerjaan rumah yang menuntut jawaban substansial. Ada brutalitas polisi, ada penggunaan barang berbahaya, ada mis-manajemen ruang, ada ancaman anonim ketika korban memperjuangkan keadilan, ada ketidak-berimbangan putusan pengadilan, dan lain sebagainya.
Substansi dari persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan lewat proses formal. Perlu ada evaluasi berlapis di tataran budaya perilaku polisi, kepekaan ruang, kepekaan kemanusiaan, evaluasi pola pikir dan logika penegakkan keamanan, serta perlu ada kebijakan tegas terkait penggunaan gas air mata maupun teknis pelaksanaan pengamanan. PVRI mengajak masyarakat untuk mengawasi praktik pengamanan yang rentan brutalitas dan mengawal ingatan Tragedi Kanjuruhan bahwa ada pekerjaan rumah mendasar bagaimana keadilan diperlakukan dari hulu kejadian sampai hilir pengadilan.