Public Virtue

Follow Us :

Democracy Forum #5: Partisipasi Pemuda di Politik Massig Alami Hambatan Struktural

A.E. Priyono Democracy Forum 5

Rabu, 20 September 2023 ― Public Virtue Research Institute dan Kedutaan Kerajaan Belanda di Indonesia menyelenggarakan A.E. Priyono Democracy Forum kelima, dengan tema “Youth Participation in Indonesian Formal Politics: Towards 2024 National Election”.

Diskusi yang diselenggarakan di Erasmus Huis ini menghadirkan empat pembicara yang mewakili praktisi, akademisi, pemerintah, dan aktivis: Faldo Maldini (Staf Khusus Kementerian Sekretaris Negara), Wasisto Raharjo Jati (Peneliti Pousat Riset Politik, BRIN), Abigail Limuria (Co-Initiator Bijak Memilih), dan Elza Yulianti (Calon Legislatif, Partai Buruh).

Forum ini menggarisbawahi masalah keterwakilan partisipasi pemuda dan isu yang menjadi perhatian mereka. Pada pemilu tahun 2019 silam, kelompok anak muda menempati 40% dari total populasi pemilih. Namun dari jumlah 560 anggota DPR di Indonesia, hanya 10% di antaranya yang tergolong usia muda.

Di lain sisi, tingkat kepercayaan pemuda terhadap lembaga-lembaga demokrasi pun menurun seiring tidak terwakilinya kepentingan-kepentingan pemuda di kancah politik formal dan seiring berkesinambungannya peristiwa-peristiwa yang memunggungi demokrasi.

Yansen Dinata, Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute mengatakan, “saat ini pemuda menghadapi berbaga tantangan dan ketidak-adilan antargenerasi. Krisis iklim, ketimpangan sosial-ekonomi, dan kemunculan otoritarianisme digital adalah beberapa contoh permasalahan yang dihadapi generasi muda.”

Yansen melihat bahwa perlawanan terhadap masalah-masalah tersebut telah diupayakan melalui individu ataupun organisasi sebagai font perjuangan, baik berbentuk aksi jalanan maupun pergulatan merebut kekuasaan melalui jalur politik formal.

Akan tetapi, sebagaimana yang kemukakan Wasisto Raharjo Jati, “tidak semua anak muda bisa menggapai politik formal sebab gelanggang politik formal kita sering kali sudah ditentukan sejak awal ketika seseorang merintis politik kampus atau politik organisasi mahasiswa. Kelancaran karir politik formal oleh karena itu berkaitan dengan ‘lingkaran’ atau klik patron yang telah ia miliki.”

Menurut Wasis, persoalan eksklusifitas politik formal ini terletak pada hambatan struktural yang dihadapi pemuda dengan latar belakang geografis, ekonomi, sosial, dan ekonomis yang berbeda. “Tidak semua anak muda bisa menggapai kampus. Maka penting bagi partai untuk menjalankan peran meritokrasi agar anak-anak muda di desa atau yang di luar kampus tetap bisa masuk gelanggang politik formal.”

Faldo Maldini menambahkan, “Kekuasaan itu harus dipertaruhkan dan direbut. Itu inti dari demokrasi. Hanya saja, pekerjaan rumahnya adalah mencari model kompetisi terbuka seperti apa yang fair? Sebab, kalau kita lihat, hampir sebagian besar yang terpilih di DPR misalnya, itu memiliki orang tua berlatar pejabat. Pemuda yang tidak punya latar itu kalau mau berkompetisi, ya sudah tidak-adil bahkan sejak awal modal kampanye dan lain seterusnya.”

“Muda menurut saya itu bukan berdasar usia, tapi berdasar keberpihakan. Sebab ada anak muda yang pikirannya tua, tapi ada juga orang tua yang progresif,” pungkas Faldo.

Perhatian anak muda terhadap isu-isu mendasar sebenarnya cukup tinggi, setidaknya sejak tahun 2019. Elza Yulianti menegaskan bahwa sejumlah gelombang protes pasca gerakan #ReformasiDikorupsi tahun 2019 menandakan tingginya antusiasme pemuda terhadap isu-isu seperti perburuhan, perempuan, dan kekhawatiran terhadap produk undang-undang yang dibuat secara non-demokratis.

“Kalau anak muda tidak terlibat aktif, maka kita [Indonesia] tidak akan berubah. Terlebih lagi dengan adanya pembuatan undang-undang yang tidak demokratis,” tutur Elza.

Abigail Limuria mengonfirmasi hal tersebut. Menurutnya, anak muda tidak bisa semuanya dianggap apatis politik. “Banyak juga anak muda yang peduli pada isu lingkungan, polusi, dan lainnya. Ini bisa diperbaiki dengan meningkatkan engagement anak muda ke politik. Tapi permasalahannya adalah, masih ada gap antar kelompok anak muda,” kata Abigail.

klowledge gap itu,” sambungnya, “bisa dijembatani dengan menyajikan informasi yang mudah dipahami. Harapannya, semakin banyak terpapar, semakin bisa membantu teman-teman yang punya konsern di isu tertentu. Ini yang Bijak Memilih lakukan.”

Diskusi ini menyiratkan bahwa adanya hambatan struktural terhadap akses partisipasi anak muda di gelanggang politik formal menyebabkan isu-isu yang menjadi konsern anak muda sulit untuk teradvokasi dalam agenda-agenda politik. Oleh karena itu, hambatan ini, baik yang berbentuk masalah struktural sosial-ekonomi dalam kelompok muda itu sendiri, maupun yang berbentuk akses partisipatif, adalah masalah mendasar bila membayangkan peran anak muda sebagai agen perubahan.

Share This :

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top